BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar
Belakang
Pembahasan
tentang matan merupakan kajian yang tidak kalah pentingnya dengan pembahasan
dan kajian terhadap sanad. Penelitian tentang matan bertujuan untuk mengetahui
kebenaran penisbatan teks kepada penuturnya. Di sisi lain, penelitian ini dapat
juga digunakan untuk mengetahui keotentikan redaksi teks dari aspek yang
berbeda – beda, di antaranya penelitian tentang penisbatan teks kepada
penuturnya, pembahasan tentang substansi teks, dan penelitian tentang
perbandingan antara beberapa teks.
Dalam
pembahasan ini, terdapat macam – macam hadits yang berkaitan dengan matan.
Selain itu, kita akan menyinggung pula tentang hadits qudsi, serta perbedaannya dengan al-Qur’an dan hadits nabawi. Sub-sub bahasan ini
terasa penting untuk dibahas karena kesemuanya berkaitan dengan teks dan
sumbernya pun berasal dari asal yang sama yaitu wahyu, sekalipun ada sis-sisi
tertentu yang membedakan ketiga jenis teks di atas. Namun sebelum melangkah
lebih jauh, ada baiknya kita mendefinisikan terlebih dahulu makna istilah
matan.
I.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari Matan?
2. Apa
saja macam-macam Matan?
3. Apa
perbedaan antara al-Qur’an, Hadits Qudsi, dan Hadit Nabawi?
4. Ada
berapa pembagian hadits ditinjau dari aspek Matan?
I.3
Tujuan
1. Mendefinisikan
pengertian dari Matan
2. Menguraikan
macam-macam Matan
3. Menjelaskan
perbedaan antara al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi
4. Menyebutkan
dan menjelaskan macam-macam hadits ditinjau dari aspek Matan
BAB
II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi Matan
Definisi
matan dari sisi bahasa bermakna ‘punggung jalan’ atau ‘gundukan’, bisa juga bermakna ‘isi atau muatan’. Teks hadits
dinamakan demikian karena isi hadits berada pada teks. Adapun secara
terminologi, matan adalah akhir dari rentetan perawi dalam sebuah sanad. Ibarat
tangga, akhir dari anak tangga berujung pada teks, dan teks itu sendiri adalah
redaksi atau ucapan yang dituturkan oleh si pengucap. Pengucap atau penutur
teks itu bisa Nabi, Sahabat, atau bisa juga Tabi’in.
II.2 Macam – macam Matan
Setelah
kita mengetahui makna matan, langkah berikutnya kita akan berbicara tentang
macam-macam matan yang bersumber dari wahyu. Ada al-Qur’an, hadits qudsi, dan hadits
nabawi.
1.
Al-
Qur’an
Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan secara bertahap melalui malaikat jibril
kepada Nbi Muhammad saw dengan periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam
mushhaf dan dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir pada surat an-Nas.
2.
Hadits Qudsi
Hadits Qudsi
adalah kalam yang maknanya dari Allah dan lafadnya dari Nabi saw. Atau dengan
ibarat lain, kalam yang dinisbatkan kepada Nabi dan maknanya bersumber dari
Allah. Hadits qudsi sering diistilahkan dengan hadits ilahi nisbat kepada ilah. Atau hadits robbani nisbat kepada rabb.
Penisbatan ini mengindikasikan adanya makna kemuliaan, karena disandarkan
kepada ‘kesucian’ Allah (Qadasatullah).
Dalam
istilah ini, sebenarnya terdapat dua sisi lafad, ‘hadits’ dan ‘ Qudsi’.
Lafad hadits kembali kepada Nabi dan lafad
qudsi kembali kepada Allah. Penggabungan dua kata ini karena dalam hadits
qudsi terdapat perpaduan antara lafad yang itu bersumber dari Nabi dan makna
yang bersumber dari Allah.
Gambaran
bentuk ungkapan dari sebuah makna seperti yang terdapat dalam hadits qudsi
sebenarnya banyak didapatkan contohnya dalam al-Qur’an. Misalnya saat Allah
menceritakan ucapanp-ucapan para Nabi terdahulu, atau dialog mereka dengan
kaumnya. Dialog itu kemudian diceritakan kembali oleh Allah dalam al-Quran
dengan menggunakan bahasa Arab, dan teks al-Qur’an saat mengungkapkan isi
dialog tersebut tidak persis seperti teks dialog yang sebenarnya tapi sebatas
makna dan substansi yang terjadi dalam dialog saat itu.
Demikian
dengan hadits qudsi, di mana Rasulullah mendapat informasi makna dari Allah
yang kemudian informasi tersebut diungkapkan kembali oleh Rasulullah saw dengan
menggunakan bahasa dan redaksi beliau.
a.
Tujuan Hadits
Qudsi
Tujuan
adanya hadits qudsi lebih kepada taujih al-rabbani atau memberikan
arahan-arahan yang bersifat peningkatan kualitas ibadah dan menanamkan
kebenaran aqidah. Berfungsi juga sebagai penggembleng moral, mendidik perilaku
ke arah yang lebih bermakna dan berkualitas, serta mengisyaratkan akan
kebesaran sang Khaliq. Secara umum,
isi dan kandungan hadits qudsi bernuansa
targhib dan tarhib, diamalkan sebagai fadhail
a’mal. Oleh sebab itu, dalam hadits qudsi
tidak terdapat pembahasan yang berkaitan dengan hukum syar’i atau yang layaknya disebut dengan hadits al-ahkam.
Dilihat
dari cara hadits qudsi diturunkan
tidak jauh beda dari cara-cara al-qur’an diturunkan. Ada yang diturunkan dengan
perantara jibril adapula yang turun melalui mimpi. Nmun kondisi yang menyertai
turunnya wahyu tidak didapatkan dalam hadits qudsi, semisal kondisi yang
menggigil pada tubuh nabi saat wahyu turun, adanya suara gemerincing lonceng,
tubuh beliau terasa berat dan sebagainya. Dan setelah hadits qudsi turun, Nabi
tidak memerintahkan para penulis wahyu untuk menulisnya, ini mungkin yang
membedakan antara hadits qudsi dengan al-Qur’an dari aspek pewahyuannya.
b.
Kualitas hadits
qudsi
Tujuan
hadits qudsi seperti hadits nabawi, karena diriwayatkan secara ahad maka
kualitasnya ada yang shahih, hasan, dan ada juga yang dhaif. Semuanya kembali
pada syurut al-qabul. Shighah yang digunakan dalam periwayatan
hadits qudsi dengan menggunakan ungkapan ‘Nabi bersabda bahwa Allah berfirman’
atau ‘ diriwayatkandari Nabi bahwa Allah berfirman’. Contoh hadits qudsi
misalnya hadis riwayat Bukhari Muslim dari abi Hurairah bahwa Nabi saw bersabda
Allah berfirman:
أعددت لعبادي الصالحين ما لا عين رات و لا أذن سمعت و لا
خطر على قلب بشر
“Aku telah siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang
shalih suatu kenikmatan yang belum pernah trlihat oleh mata, belum pernah
terdengar oleh telinga bahkan belum pernah terlintas dalam benak manusia”
Ibn
Hajar al-Haitsami (975 H) mengatakan bahwa jumlah hadits qudsi lebih dari seratus hadits. Imam al-Munawi (1031 H)
menginventarisir hadits-hadits qudsi dan
membukukannya dalam karyanya yang diberi nama al-Ithafat al-Saniyah fi al-Ahaditsal-Qudsiyyah. Dalam buku ini
terdapat 272 hadits qudsi yang disusun berdasarkan susunan abjad namun tidak
tercantum sanad-sanadnya. Selain itu, Abu Abdurrahman Ishammudin
al-Dhobabithi juga menyusun kitab kumpulan Hadits-hadits qudsi yang dinamakan Jami’
al-Ahadits al-Qudsiyyah, terdiri dari tiga jilid berisi 1150 hadits yang
terbagi dalam 67 bab dan kitab ini disusun berdasarkan bab (tematik). Namun
sayangnya sekalipun terdapat keterangan sumber haditsnya dalam kitab tersebut
isinya bercampur antara hadits qudsi yang
shahih, hasan, dhaif bahkan yang
maudhu’.
c.
Referensi hadits
qudsi
Terdapat
beberapa kitab yang menghimpun hadits-hadits qudsi, di antaranya: al-Ithafat as-Saniyah bi al-Ahadits
al-Qudsiyyah, karya al-Munawi (1031 M), Jami’ al-Ahadits al-Qudsiyyah, karya Abu
Abdul Abdurrahman ‘Ishammudin adh-Dhobabothi.
3.
Hadits
Nabawi
Sebagaimana
telah disinggung di awal pembahasan bahwa hadits adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi saw baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau
sifat moral dan fisik.
Hadits
Nabi juga bersumber dari wahyu, sebagaimana firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى 0 إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْىٌ يُوحَى0
Ayat
ini tidak berarti bahwa segala gerak gerik nabi berarti bersumber dari sentuhan
wahyu. Ada kalanya berasal dari informasi wahyu, adapula yang murni dari
insting beliau sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Adib Sholeh bahwa
yang dilakukan oleh Nabi bisa saja bersumber dari insting dan ijtihad beliau,
namun proses ijtihad tersebut selalu dalam teropong dan pengawasan wahyu. Jika
ijtihad tersebut dinilai kurang tepat maka akan turun teguran yang meluruskan
ijtihad tersebut.
Dalam
aktivitas sehari-hari beliau berperilaku layaknya orang lain. Sisi basyariah beliau tidak beda dengan orang
lain, hanya saja segala aktivitas beliau dalam pantauan wahyu. Jika yang
dilakukan sejalan dengan sosok beliau sebagai nabi maka didiamkan, namun jika
dinilai kurang tepat maka ada teguran dari wahyu.
Contoh
teguran bisa kita dapatkan dalam beberapa surat dalam al-Qur’an, kasus Abdullah
ibn Umi Makum sebagaimana diungkapkan dalam
surat Abasa. Rasulullah saw bermuka masam melihat kedatangan ibn Umi
Makum yang dinilai tidak pada moment yang tepat. Dalam surat al-Tahrim,
kasus pengharaman madu yang beliau lakukan karena hendak meredam rasa cemburu
yang timbul dari istri beliau, yang kemudian hal itu ditegur oleh allah swt
dalam firman-Nya:
يَأَيُّهَا النَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآأَحَلَّ اللَّهُ لَكَ
تَبْتَغِى مَرْضَاتَ أَزْوَجِكَ وَاللَّهُ غَفُوْرٌرَّحِيْمٌ
0 قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَنِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلَكُمْ
وَهُوَالْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ 0 وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِىُّ إِلَى بَغْضِ
أَزْوَجِهِ حَدِيْثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ
عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّاَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ
أَنْبَأَكَ هَذَا قَلَ نَبَّأَ نِىَ الْعَلِيْمُ الْخَبِيْرُ0
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa
rasulullah saw berijtihad.
II.3 Perbedaan antara al-Qur’an,
Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi.
Setelah mengetahui hakikat al-Qur’an, hadits qudsi dan hadits nabawi, kita akan
melihat perbedaan-perbedaan yang spesifik diantara 3 jenis teks di atas
.
|
No
|
Al-Qur’an
|
Hadis Qudsi
|
Hadits Nabawi
|
1
|
Teks dan makna dari
Allah
|
Teks dari nabi dan
makna dari Allah
|
Teks dan makna dari
Nabi
|
2
|
Diriwayatkan secara
mutawattir
|
Diriwayatkan secara
Ahad
|
Diriwayatkan secara
ahad dan mutawattir
|
3
|
Teks dan hurufnya
berupa mukjizat
|
Tidak termasuk
mukjizat
|
Tidak termasuk
mukjizat
|
4
|
Membacanya dinilai
ibadah
|
Penilaian ibadah
secara umum (dari sisi mempelajarinya)
|
Penilaian ibadah
secara umum (dari sisi mempelajarinya)
|
5
|
Dibaca dalam shalat
|
Tidak boleh dibaca
dalam shalat
|
Tidak boleh dibaca
dalam shalat
|
6
|
Tidak dibenarkan
myentuh bagi orang yang berhadats
|
Boleh menyentuh bagi
yang berhadats
|
Boleh menyentuh bagi
yang berhadats
|
7
|
Tidak boleh dijual
belikan
|
Boleh diperdagangkan
|
Boleh diperdagangkan
|
8
|
Berisi tentang ahkam syar’iyyah
|
Targhib dan tarhib
|
Lebih berfungsi
sebagai penjelas al-Qur’an
|
|
|
|
|
|
II.4 Pembagian Hadits Ditinjau dari Aspek Matan
Dalam
pembahasan ini, yang kita lihat sebatas siapa penutur teks tersebut, dan tidak
melihat bagaimana kualitas sanadnya. Hadits ditinjau dari aspek penuturnya
dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu Hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
1.
Marfu’
Definisi
marfu’ adalah hadits yang dinisbatkan
kepada Nabi saw berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat, baik sanadnya
bersambung maupun tidak. Yang menisbatkan kepada Nabi bisa sahabat atau juga
kita. Selama ada ungkapan ‘Nabi bersabda’ atau ‘ Nabi melakukan ini dan itu’
maka dapat dinamakan marfu’.
Sebagian
ulama membagi hadits marfu’ berdasarkan jenis. Jika hadits itu berupa ucapan
maka dinamakan marfu’ qauli, jika perbuatan dinamakan fi’li, dan jika sifat maka washfi. Pembagian semacam ini sebenarnya
tidak jauh beda dengan pengklasifikasian jenis-jenis hadits. Masalah ini sudah
pernah kita singgung pada pembahasan tentang definisi dan sinonim hadits, di
mana terdapat istilah hadits qauli,
fi’li, taqriri, dan washfi.
Jumhur
Muhadditsin tidak membagi dengan pembagian seperti
di atas, namun membagi dari aspek pengkategorian teks. Sekalipun hadits marfu’ adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi, namun ada beberapa teks yang bisa dinisbatkan kepada
Nabi sekalipun bukan beliau penuturnya.
Dari
aspek itu kemudian ulama membagi marfu’
menjadi dua yaitu tashrihiy dan hukmiy. Berikut penjelasan dari
keduanya.
a. Marfu’ Tashrihiy
Marfu’
tashrihiy adalah hadits yang diisbatkan kepada Nabi secara
jelas. Dalam arti bahwa teks hadits tersebut menggunakan penisbatan secara
langsung dan menggunakan ungkapan ‘ qola
Nabi’ atau ‘ diriwayatkan dari nabi’.
b. Marfu’ Hukmiy
Marfu’
hukmiy adalah ucapan sahabat yang dihukumi marfu’ atau
dikategorikan sebagai hadits marfu’.
Dengan kata lain, bahwa apa yang diucapkan sahabat dapat dipastikan bersumber
dari Nabi bukan dari hasil oleh pikiran mereka. Pengkategorian ini tentunya
dengan beberapa ketentuan:
Pertama,
yang diucapkan sahabat tersebut menyangkut masalah yang tidak dapat
diijtihadkan. Misalnya tatkala sahabat berbicara masalah ghaib (ghaibiyyat), atau tentang tanda-tanda
kiamat.
Kedua,
jika sahabat bercerita tentang kejadian yang menimpa umat-umat terdahulu, selama
sahabat tersebut tidak dikenal sebagai orang yang sering duduk dengan ahli
kitab maka ceritanya dapat dikategorikan marfu’ karena jika tidak dikhawatirkan
cerita tersebut mareka dengar dari ahli kitab yang bersumber dari taurat dan
injil.
Ketiga,
jika
sahabat mengatakan ‘kami diperintahkan untuk...’ atau kami dilarang’. Dengan
ungkapan seperti ini dapat difahami bahwa yang memerintah dan melarang hal
tersebut adalah Nabi saw.
Keempat,
jika
yang diucapkan dinisbatkan pada zaman Nabi. Misalnya mereka mengatakan kami
melakukan ‘azl
sedang wahyu saat itu masih turun. Atau mengatakan ‘pada zaman Nabi kami
melakukan ini dan itu’.
Ungkapan-ungkapan
ini dapat dihukumi sebagai marfu’,
sekalipun sahabat tidak mengatakan ‘qola
Nabi’, karena semua ungkapan itu secara tidak langsung sebenarnya dapat
dipastikan bersumber dari Nabi atau dilakukan pada saat Nabi masih hidup
bersama mereka.
Contoh
hadits marfu’ tashrihiy seperti
hadits shahih riwayat abu Daud dari Muawiyah bin abi Sufyan bahwa Rasulullah
bersabda:
إنك إن اتبعت عورات المسلمين أفسدتهم أو كدت تفسدهم
“jika kau mengorek-ngorek aurat (aib) seorang
muslim berarti kau telah merusaknya atau hampir merusaknya.”
Adapun
marfu’ hukmiy seperti hadits ibn
Mas’ud yang mengatakan:
كنا نهينا عن التجسس.
“kami
dilarang memata-matai.”
Kehujjahan hadits
marfu’
Hadits
marfu’ baik tashrihiy maupun hukmiy dapat dijadikan
sebagai hujjah, selama hadits
tersebut memenuhi kriteria hadits maqbul
(shahih atau hasan).
2.
Mauquf
Definisi
hadits mauquf adalah ucapan atau
perbuatan yang dinisbatkan kepada sahabat. Jika terdapat sebuah teks dan
penuturnya seorang sahabat maka diistilahkan dengan mauquf, baik bersambung
sanadnya maupun tidak. Jika bersambung maka dinamakan mauquf muttashil, dan
jika tidak maka dinamakan mauquf
munqathi’.
Contoh
hadits mauquf seperti ucapan Usman
bin Affan saat khutbah mengatakan:
اسمعوا و أنصتوا فإن للمنصت الذي لا يسمع من الحظ ما للمنصت السامع.
“Dengarkan dan diamlah, sesungguhnya orang
yang diam tapi tidak mendengar pahalanya tidak seperti orang yang diam dan
mendengar”
Kehujjahan Hadits Mauquf
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’
kaitannya dengan kehujjahan hadits mauquf. Sebagian tokoh madzhab Hanafi
mengatakan bahwa hadits mauquf dapat dijadikan sebagai hujjah, karena pa yang
dilakukan sahabat selalu berpedoman pada ahkam
syar’iyyah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Adapun
Imam Syafi’i dan beberapa tokoh yang lain tidak menerima kehujjahan hadits mauquf, dengan alasan adanya kemungkinan
ungkapan tersebut murni hasil ijtihad sahabat sendiri atau mereka mendengar
bukan dari Nabi saw.
3.
Maqthu’
Definisi
hadits maqthu’ adalah ucapan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada tabi’in.
Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya seorang tabi’in maka diistilahkan
dengan maqthu’, baik bersambung
sanadnya maupun tidak.
Contoh
hadits maqthu’ misalnya riwayat Imam
Muslim dari ibn Sirin berkata:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تاخذون دينكم
Kehujjahan Hadits Maqthu’
Para
ulama berpendapat bahwa hadits maqthu’
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali bagi golongan yang membolehkan
berhujjah dengan hadits mursal, maka maqthu’ yang marfu’ dapat dijadikan sebagai hujjah.
BAB IV
PENUTUP
IV.1
KESIMPULAN
Definisi matan dari sisi bahasa bermakna ‘punggung
jalan’ atau ‘gundukan’,
bisa juga bermakna ‘isi atau muatan’. Teks hadits dinamakan demikian karena isi
hadits berada pada teks. Adapun secara terminologi, matan adalah akhir dari
rentetan perawi dalam sebuah sanad. Ibarat tangga, akhir dari anak tangga
berujung pada teks, dan teks itu sendiri adalah redaksi atau ucapan yang
dituturkan oleh si pengucap. Pengucap atau penutur teks itu bisa Nabi, Sahabat,
atau bisa juga Tabi’in.
Matan
terbagi menjadi 3 yaitu al-Qur’an, hadits qudsi, dan hadits nabawi yang
masing-masing memiliki pengertian yang berbeda. Didalam makalah ini kita juga dapat melihat perbedaan yang
spesifik dari ke 3 macam matan tersebut.
Dalam
pembagian di atas terdapat lafad ‘hadits’
yang digunakan untuk mengungkapkan tiga istilah, yaitu hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Dalam penggunaan istilah ini, kami harap tidak membuat pemahaman kita rancau
dengan definisi hadits yang sesungguhnya.
Penggunaan
istilah ‘hadits’ di atas sebenarnya lebih kepada makna harfiah dari hadits itu sendiri, yaitu ‘ucapan’ atau ‘perkataan’.
Jadi, kalau dikatakan ‘hadits mauquf’
artinya ucapan sahabat, atau ucapan yang terhenti hingga sahabat, tidak ada
terkait dengan konotasi makna secara terminologi dari hadits.